Sainte Lague menerapkan bilangan pembagi suara untuk mendapatkan kursi berangka ganjil mulai 1, 3, 5, 7, 9 dan seterusnya. Metode ini diperkenalkan oleh ahli matematika asal Perancis, Andre Sainte Lague pada tahun 1910. Metode ini mengkonversi perolehan suara partai politik ke kursi parlemen, atau metode untuk menentukan perolehan kursi partai politik di DPR atau DPRD. Metode ini telah digunakan juga di Indonesia pada Pemilu tahun 2019.
Metode ini berdasarkan perolehan suara terbanyak partai politik dari hasil pembagian diurutkan sesuai dengan jumlah ketersediaan kursi di setiap dapil. Dasar hukumnya adalah UU nomor 7 tahun 2017 pasal 415 ayat 2. “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya”.
Aturan mengenai metode tersebut tertuang dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal 414, disebutkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 4 persen. Partai yang tidak memenuhi ambang batas tak akan diikutsertakan dalam penentuan kursi di DPR. Sementara itu, untuk penentuan kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh partai politik akan dilibatkan.
Berikut simulasi konversi perolehan suara ke kursi parlemen dalam suatu daerah pemilihan jika terdapat 5 kursi. Misalnya dalam suatu daerah pemilihan ada 6 Partai yang memperoleh suara sebagai berikut:
Partai A: 6400
Partai B: 1800
Partai C: 1500
Partai D: 860
Partai E: 800
Partai F: 760
1. Penentuan kursi pertama
Setiap partai yang sudah memenuhi ambang batas akan dibagi angka 1.
Partai A: 6400/1 = 6400
Partai B: 1800/1 = 1800
Partai C: 1500/1 = 1500
Partai D: 860/1 = 860
Partai E: 800/1 = 800
Partai F: 760/1 = 760
Berdasarkan hasil pembagian itu, Partai A akan mendapatkan kursi pertama di dapil tersebut.
2. Penentuan kursi kedua
Partai A yang sudah mendapatkan satu kursi selanjutnya akan dibagi dengan angka 3.
Partai A: 6400/3 = 2133
Partai B: 1800/1 = 1800
Partai C: 1500/1 = 1500
Partai D: 860/1 = 860
Partai E: 800/1 = 800
Partai F: 760/1 = 760
Partai A mendapatkan kursi kedua di dapil tersebut.
3. Penentuan kursi ketiga
Partai A yang sudah mendapatkan dua kursi selanjutnya akan dibagi dengan angka 5.
Partai A: 6400/5 = 1280
Partai B: 1800/1 = 1800
Partai C: 1500/1 = 1500
Partai D: 860/1 = 860
Partai E: 800/1 = 800
Partai F: 760/1 = 760
Partai B mendapatkan kursi ketiga di dapil tersebut.
4. Penentuan kursi keempat
Partai A dibagi dengan angka 5 dan Partai B dibagi angka 3.
Partai A: 6400/5 = 1280
Partai B: 1800/3 = 600
Partai C: 1500/1 = 1500
Partai D: 860/1 = 860
Partai E: 800/1 = 800
Partai F: 760/1 = 760
Partai C mendapatkan kursi keempat di dapil tersebut.
5. Penentuan kursi kelima
Partai A dibagi dengan angka 5. Sedangkan Partai B dan Partai C dibagi angka 3.
Partai A: 6400/5 = 1280
Partai B: 1800/3 = 600
Partai C: 1500/3 = 500
Partai D: 860/1 = 860
Partai E: 800/1 = 800
Partai F: 760/1 = 760
Partai A mendapatkan kursi kelima
Berdasarkan perhitungan suara di atas, 5 kursi di dapil tersebut diberikan 3 kepada Partai A, 1 Partai B dan 1 Partai C. Sedangkan Partai D, Partai E dan Partai F tidak mendapatkan jatah kursi. Dengan sistem proporsional terbuka, maka Calon Legislatif yang mendapat suara terbanyak yang akan menduduki kursi jatah tiap Partai.