Keren! Kaum Milenial Jadi Motor Penggerak Bertani Organik di Semarang

SEMARANG – Menjadi petani kini tampaknya bukanlah cita-cita yang keren dan diidamkan. Bergulat di lahan kotor, kelas bawah, hingga penghasilan pas-pasan menjadi alasan pekerjaan mengolah sawah semakin ditinggalkan.

Namun kondisi berbeda tampak di sebuah Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah. Anak-anak muda justru menjadi penggerak utama untuk mengembangkan pertanian tanaman padi secara organik.

Mereka rela menceburkan diri di tengah lumpur persawahan untuk merawat padi. Mulai dari proses menanam, memberi pupuk organik hingga mencabuti rumput yang bakal mengganggu pertumbuhan padi.

“Warga mengembangkan pertanian organik, dan ini sudah 6 kali panen. Luar biasanya adalah pemuda-pemuda yang bergerak (di pertanian organik),” kata Ketua Pendamping Desa Wisata Wonolopo, Rr. Dewi Handayani, Jumat (27/8/2021).

“Jadi ini keren banget. Anak-anak muda itu yang nyebur ke sawah untuk merawat tanaman padi,” imbuh dia.

Meski Kelurahan Wonolopo telah dinobatkan sebagai salah satu desa wisata, namun kegiatan bertani organik itu bukan untuk tontonan wisata semata. Mereka ingin mengembangkan komoditas pertanian unggul sekaligus menjadi sumber penghasilan.

pertanian organik wonolopo unisbank

“Saya langsung ketemu dengan Ketua RW-nya. Mereka mengatakan tidak fokus pada destinasi wisata, meski nanti polanya itu sudah mengarah ke sana (wisata), karena yang digandeng adalah pemuda,” ujar dia.

Lahan pertanian organik itu berada di RT 3/3 Kelurahan Wonolopo. Luas area sekira 1,5 hektare yang awalnya hanya digunakan sebagai embung buatan. Tanah itu merupakan milik Pemkot Semarang seluas 1,5 hektar yang awalnya hanya digunakan sebagai embung buatan.

“Ketua RW-nya ini cerita, dia juga seorang anggota polisi. Nah katanya, awalnya itu yang mau diterjunkan ke pertanian ini untuk yang tua-tua untuk mengembangkan pertanian organik. Tapi ternyata yang tua ini fokusnya mencari nafkah, lha kan kita ya tidak menafikkan mereka harus cari nafkah,” lugas dia.

“Jadi sasarannya dianggap tidak tepat, makanya terus dilakukan pendekatan ke para pemuda ternyata pas banget. Para pemuda ini didekati satu persatu lalu dimotivasi, dan mereka mau,” tambah dosen Universitas Stikubank (Stikubank) tersebut.

Menurutnya, memilih para pemuda sebagai motor penggerak pertanian modern dianggap sangat tepat. Sebab, mereka ke depan tak perlu berburu lapangan kerja karena sudah memiliki penghasilan sendiri dengan mengembangkan komoditas pertanian organik.

“Sekira 5-6 tahun ke depan kan mereka ini butuh pekerjaan. Kalau sudah di pertanian organik maka tak perlu susah lagi cari kerja. Apalagi, di samping lahan padi ini juga disebar benih ikan macam-macam jenisnya. Jadi bisa gantian dari ngolah padi atau budidaya ikan. Ini keren banget,” tutupnya.