Donald Trump, beberapa hari lalu, mengumumkan pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang dari lebih 180 negara, termasuk Indonesia. Barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif sebesar 32%. Tarif itu disebut sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari AS, yang diklaim mencapai 64%.
Angka tarif yang dikenakan ke Indonesia hanya berbeda 2% dari China, yang berjumlah 34%, dan juga lebih kecil dibanding Thailand sebesar 36%, Sri Lanka 44%, Vietnam 46%, bahkan Kamboja 49%. Dilansir dari BBC, kenaikan tarif resiprokal Trump berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025, demikian kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Resesi itu karena potensi ekspor menurun, harga komoditas makin rendah, penerimaan pajak melemah, fiskal pemerintah tidak mampu berikan stimulus tambahan, sisi konsumsi rumah tangga melemah. Korelasi ekonomi Indonesia dengan AS, setiap 1% penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08%,” tambahnya.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor mesin dan perlengkapan elektrik Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$4,1 miliar. Tercatat ekspor produk pakaian dan aksesoris (rajutan) Indonesia ke AS berkontribusi hingga US$2,4 miliar. Sedangkan, produk pakaian dan aksesoris (bukan rajutan) mencapai US$2,1 miliar.
Sebagian besar brand internasional di Indonesia punya pasar besar di AS. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah pemesanan ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif.